Kamis, 06 Mei 2010

Karakteristik Masyarakat Desa

Posting By: Mimi
Ditulis Oleh: Prayudi

Masyarakat desa selalu memiliki ciri-ciri atau dalam hidup bermasyarakat, yang biasanya tampak dalam perilaku keseharian mereka. Pada situasi dan kondisi tertentu, sebagian karakteristik dapat digeneralisasikan pada kehidupan masyarakat desa di Jawa. Namun demikian, dengan adanya perubahan sosial religius dan perkembangan era informasi dan teknologi, terkadang sebagian karakteristik tersebut sudah “tidak berlaku”. Berikut ini disampaikan sejumlah karakteristik masyarakat desa, yang terkait dengan etika dan budaya mereka, yang bersifat umum yang selama ini masih sering ditemui. Setidaknya, ini menjadi salah satu wacana bagi kita yang akan bersama-sama hidup di lingkungan pedesaan.
1. Sederhana
Sebagian besar masyarakat desa hidup dalam kesederhanaan. Kesederhanaan ini terjadi karena dua hal:
a. Secara ekonomi memang tidak mampu
b. Secara budaya memang tidak senang menyombongkan diri.
2. Mudah curiga
Secara umum, masyarakat desa akan menaruh curiga pada:
a. Hal-hal baru di luar dirinya yang belum dipahaminya
b. Seseorang/sekelompok yang bagi komunitas mereka dianggap “asing”
3. Menjunjung tinggi “unggah-ungguh”
Sebagai “orang Timur”, orang desa sangat menjunjung tinggi kesopanan atau “unggah-ungguh” apabila:
a. Bertemu dengan tetangga
b. Berhadapan dengan pejabat
c. Berhadapan dengan orang yang lebih tua/dituakan
d. Berhadapan dengan orang yang lebih mampu secara ekonomi
e. Berhadapan dengan orang yang tinggi tingkat pendidikannya
4. Guyub, kekeluargaan
Sudah menjadi karakteristik khas bagi masyarakat desa bahwa suasana kekeluargaan dan persaudaraan telah “mendarah-daging” dalam hati sanubari mereka.
5. Lugas
“Berbicara apa adanya”, itulah ciri khas lain yang dimiliki masyarakat desa. Mereka tidak peduli apakah ucapannya menyakitkan atau tidak bagi orang lain karena memang mereka tidak berencana untuk menyakiti orang lain. Kejujuran, itulah yang mereka miliki.
6. Tertutup dalam hal keuangan
Biasanya masyarakat desa akan menutup diri manakala ada orang yang bertanya tentang sisi kemampuan ekonomi keluarga. Apalagi jika orang tersebut belum begitu dikenalnya. Katakanlah, mahasiswa yang sedang melakukan tugas penelitian survei pasti akan sulit mendapatkan informasi tentang jumlah pendapatan dan pengeluaran mereka.
7. Perasaan “minder” terhadap orang kota
Satu fenomena yang ditampakkan oleh masayarakat desa, baik secara langsung ataupun tidak langsung ketika bertemu/bergaul dengan orang kota adalah perasaan mindernya yang cukup besar. Biasanya mereka cenderung untuk diam/tidak banyak omong.
8. Menghargai (“ngajeni”) orang lain
Masyarakat desa benar-benar memperhitungkan kebaikan orang lain yang pernah diterimanya sebagai “patokan” untuk membalas budi sebesar-besarnya. Balas budi ini tidak selalu dalam wujud material tetapi juga dalam bentuk penghargaan sosial atau dalam bahasa Jawa biasa disebut dengan “ngajeni”.
9. Jika diberi janji, akan selalu diingat
Bagi masyarakat desa, janji yang pernah diucapkan seseorang/komunitas tertentu akan sangat diingat oleh mereka terlebih berkaitan dengan kebutuhan mereka. Hal ini didasari oleh pengalaman/trauma yang selama ini sering mereka alami, khususnya terhadap janji-janji terkait dengan program pembangunan di daerahnya.
Sebaliknya bila janji itu tidak ditepati, bagi mereka akan menjadi “luka dalam” yang begitu membekas di hati dan sulit menghapuskannya. Contoh kecil: mahasiswa menjanjikan pertemuan di Balai Desa jam 19.00. Dengan tepat waktu, mereka telah standby namun mahasiswa baru datang jam 20.00. Mereka akan sangat kecewa dan selalu mengingat pengalaman itu.
10. Suka gotong-royong
Salah satu ciri khas masyarakat desa yang dimiliki dihampir seluruh kawasan Indonesia adalah gotong-royong atau kalau dalam masyarakat Jawa lebih dikenal dengan istilah “sambatan”. Uniknya, tanpa harus dimintai pertolongan, serta merta mereka akan “nyengkuyung” atau bahu-membahu meringankan beban tetangganya yang sedang punya “gawe” atau hajatan. Mereka tidak memperhitungkan kerugian materiil yang dikeluarkan untuk membantu orang lain. Prinsip mereka: “rugi sathak, bathi sanak”. Yang kurang lebih artinya: lebih baik kehilangan materi tetapi mendapat keuntungan bertambah saudara.
11. Demokratis
Sejalan dengan adanya perubahan struktur organisasi di desa, pengambilan keputusan terhadap suatu kegiatan pembangunan selalu dilakukan melalui mekanisme musyawarah untuk mufakat. Dalam hal ini peran BPD (Badan Perwakilan Desa) sangat penting dalam mengakomodasi pendapat/input dari warga.
12. Religius
Masyarakat pedesaan dikenal sangat religius. Artinya, dalam keseharian mereka taat menjalankan ibadah agamanya. Secara kolektif, mereka juga mengaktualisasi diri ke dalam kegiatan budaya yang bernuansa keagamaan. Misalnya: tahlilan, rajaban, Jumat Kliwonan, dll.
Catatan: 11 karakteristik tersebut, pada saat ini tidak bisa digeneralisasikan bagi seluruh warga masyarakat desa. Ini disebabkan oleh adanya perubahan sosial religius yang begitu besar pengaruhnya dalam tata pranata kehidupan masyarakat pedesaan. Dampak yang terjadi meliputi aspek agama, ekonomi, sosial politik, budaya dan pertahanan keamanan. (ingat: kasus kerusuhan yang terjadi di beberapa pedesaan di pulau Jawa)
CARA MENYIKAPI atau BERADAPTASI
1. Bersikap “andhap asor”
Sebagai “komunitas tamu” yang berasal dari luar komunitas masyarakat desa seyogyanya kita mengambil posisi yang “merendah” atau minimal “seimbang” sekalipun secara materi dan intelektualitas lebih tinggi mereka.
2. Bersahabat
Sifat arogan harus dikikis habis, diganti dengan perilaku yang bersahabat dan “sumedulur” (bersaudara). Sebagai tamu sudah semestinya tidak bersikap arogan dan menunjukkan sifat dan perilaku kekotaan.
3. Menghargai
Sebagai reaksi atas sikap kekeluargaan dari masyarakat desa, sepantasnya kita juga menghargai mereka. Sikap menghargai ini dapat diberikan dalam hal:
a. Memahami pola pikir mereka yang berbeda kontra dengan pola pikir kita
b. Menerima pemberian sesuatu sebagai bentuk “tresno” (kasih sayang) mereka kepada kita.
c. Memahami pola hidup mereka yang jauh berbeda dengan pola hidup kita
4. Sopan santun
Dalam rangka mengikuti adat/istiadat/kebiasaan yang berlaku di desa maka sudah selayaknya kita menyesuaikan diri, diantaranya:
• Dalam hal berpakaian, sebaiknya tidak mengenakan pakaian “ala kota”.
• Dalam gaya hidup, sebaiknya tidak menunjukkan sikap yang menurut mereka “pamer materi”. Misalnya: ber-handphone ria ditengah-tengah mereka, ber-walkman ria sambil berbicara dengan mereka.
• Dalam hal berbicara, sebaiknya tidak menggunakan kata-kata/kalimat yang hanya bisa dipahami oleh kalangan mahasiswa. Misalnya: bahasa Inggris/bahasa “ngilmiah”.
5. Terbuka
Sebagai reaksi positif atas keterbukaan yang ditunjukkan oleh masyarakat desa maka seyogyanya kita juga menunjukkan sikap terbuka kepada mereka, misalnya:
• Jika tuan rumah sudah berbicara apa adanya tentang menu makanan sehari-hari maka jika kita memang kurang suka sebaiknya “ngomong”. Contoh: Si A tidak suka makan mie. Sebaiknya ngomong ke tuan rumah daripada nggerundhel.
• Jika keluar dari rumah pondokan sebaiknya menjelaskan secara terbuka: mau kemana, dengan siapa dan kapan pulang. Hal ini penting, karena biasanya mahasiswa sudah dianggap sebagai anak sendiri.
6. Membantu tanpa pamrih
Mengacu pada karakteristik gotong-royong yang dimiliki masyrakat desa, maka sudah semestinya kita menyesuaikan dan mengikuti kebiasaan itu. Bekerja dan membantu masyarakat desa tanpa pamrih. Dengan senang hati mengikuti setiap acara tradisional (misal: kenduri) yang diadakan di desa. Sekalipun tetap memperhitungkan waktu kerja program COP.
7. Tepat waktu
Demi menjaga kepercayaan masyarakat desa, sebaiknya perlu diperhatikan ketepatan waktu dalam setiap acara peretemuan yang melibatkan orang banyak. Hal ini sangat penting agar masyarakat desa juga menaruh kepercayaan kepada kita sehingga sosialisasi program dan keterlanjutan pelaksanaannya dapat terjaga.
8. Silahturahmi
Sebagai “tamu asing” sudah menjadi kebiasaan yang lumrah jika kita harus melakukan silaturahmi (= memperkenalkan diri) kepada warga masyarakat desa agar didalam melakukan sosialisasi dan pelaksanaan program tidak mengalami hambatan hanya dikarenakan belum kenal. Silaturahmi ini dapat dilakukan secara formal maupun informal. Misal:
• Ketika melakukan sosialisasi ketemu warga desa, sebaiknya langsung memperkenalkan diri (informal)
• Perkenalan diri secara formal di Balai Desa (formal)
9. “Srawung”
Selama menjalankan program COP sebaiknya kita tetap menjaga hubungan baik dengan masyarakat desa sehari-hari. Jangan sekali-kali kita mengucilkan diri dan seolah membentuk kelompok “eksklusif orang kota”.
10. Gotong-royong
Partisipatif, ini kata kuncinya ! Dalam menjalankan program kerja jangan sampai meninggalkan prinsip dasar, yaitu PARTISIPASI MASYARAKAT. Pada dasarnya program dapat berjalan karena ada partisipasi, baik dari seluruh anggota kelompok maupun masyarakat setempat. Memunculkan minat berpartisipasi tidaklah mudah, karena itu dibutuhkan komitmen yang tinggi yang diawali dari diri sendiri.
11. Demokratis
Mencermati iklim demokrasi yang juga sudah merambah di desa, hendaknya kita bersedia mengikuti proses yang berlangsung. Karena itu, dalam merencanakan dan melaksanakan program kita harus melibatkan BPD (Badan Perwakilan Desa). Ini juga berarti kita menghargai proses demokrasi dalam sebuah “lembaga” yang namanya desa.
12. Religius
Menyikapi kenyataan ini, secara psikologis kita tidak perlu khawatir atau bahkan takut karena justru akan menyulitkan kita untuk bersosialisasi. Sikap menghargai, itulah yang mesti kita kembangkan ! Kita mesti tahu diri disaat masyarakat desa sedang menjalankan ibadah agamanya. Karena itu dalam menyusun suatu kegiatan, pertimbangan faktor “lima waktu” sangat penting untuk diperhatikan.

Kelompok Sosial


KELOMPOK SOSIAL

  1. Faktor-faktor yang mendasari manusia berkelompok:
  2. Apakah yang di maksud dengan kelompok sosial:
  3. Bentuk-bentuk kelompok sosial menurut beberapa para ahli sosiologi
  4. Pengertian kelompok Teratur & Tidak Teratur (ciri-ciri, contoh, dll)
  5. Ciri-ciri atau karasteristik masyarakat kota & masyarakat desa.

  1. Faktor-faktor yang mendasari manusia berkelompok:
    • Adanya persamaan senasib
    • Tujuan yang sama
    • Ideologi yang sama
    • Musuh bersama
    • Suku bangsa yang sama atau kelompok etnik

Kelompok sosial adalah:
Kelompok sosial (social group) merupakan suatu himpunan atau suatu kesatuan-kesatuan manusia manusia yang hidup bersama, yang disebabkan oleh adanya hubungan antara mereka yang menyangkut hubungan timbal-balik yang saling mempengaruhi dan adanya kesadaran untuk saling tolong menolong. Soial group merupakan pengumpulan atau agregasi yang teratur.

Bentuk-bentuk kelompok sosial menurut para ahli:
  1. In Group dan Out Group
Summer membedakan antara in group dan out group. In Group merupakan kelompok social yang dijadikan tempat oleh individu-individunya untuk mengidentifikasikan dirinya. Out Group merupakan kelompok sosial yang oleh individunya diartikan sebagai lawan in Group. Contoh: Istilah “kita” atau “kami” menunjukkan adanya artikulasi in group, sedangkan “mereka” berartikulasi out group.
  1. Kelompok primer dan sekunder
Charles Horton Cooley mengemukakan tentang kelompok primer yang ditandai dengan ciri-ciri saling mengenal antara anggota-anggotanya, kerja sama yang erat dan bersifat pribadi,interaksi sosial dilakukan secara tatap muka (face to face). Kelompok sekunder adalah kelompok sosial yang terdiri dari banyak orang, antara siapa hubungannya tidak perlu berdasarkan pengenalan secara pribadi dan juga sifatnya tidak begitu langgeng.
  1. Gemainschaft dan gesellschaft
Ferdinand Tonnies mengemukakan tentang hubungan antara individu-individu dalam kelompok sosial sebagai Gemainschaft (paguyuban) dan gesellschaft (patembayan). Gemainschaft merupakan bentuk-bentuk kehidupan yang di mana para anggota-anggotanya diikat oleh hubungan batin yang murni, bersifat ilmiah, dan kekal. Contoh: keluarga, kelompok kekerabatan, rukun tetangga, dll. Gesellschaft (patembayan) merupakan ikatan lahir yang bersifat pokok untuk jangka waktu tertentu (yang pendek) atau bersifat kontraktual. Contoh: hubungan perjanjian perdagangan, organisasi formal, organisasi suatu perusahaan, dll.
  1. Kelompok Formal dan Informal
J.A.A. Van Doorn membedakan kelomok Formal dan Informal. Kelompok Formal mempunyai peraturan yang tegas dan sengaja diciptakan oleh para anggotanya untuk mengatur hubungan mereka, misalnya pemerintah memilih ketua, iuran anggota, dll. Kelompok Informal tidak mempunyai struktur atau organisasi tertentu . Kelompok ini terbentuk karena pertemuan berulang-ulang, misal kelompok dalam belajar.
  1. Membership group dan reference group
Robert K. Merton membedakan kelompok membership dengan kelompok reference. Kelompok membership merupakan kelompok yang para anggotanya tercatat secara fisik sebagai anggota, sedangkan kelompok reference merupakan kelompok sosial yang dijadikan acuan atau rujukan oleh individu-individu yang tidak tercatat dalam anggota kelompok tersebut untuk membentuk atau mengembangkan kepribadiannya atau dalam berperilaku.

Kelompok teratur dan tidak teratur:
Kelompok teratur merupakan kelompok yang mempunyai peraturan tegas dan sengaja diciptakan anggota-anggotanya untuk mengatur hubungan antarmereka. Ciri-ciri kelompok teratur:
  • Memiliki identitas kolektif yang tegas (misalnya tampak pada nama kelompok, simbol kelompok,dll).
  • Memiliki daftar anggota yang rinci.
  • Memiliki program kegiatan yang terus-menerus diarahkan kepada pencapaian tujuan yang jelas.
  • Memiliki prosedur keanggotaan.
Contoh kelompok teratur antara lain berbagai perkumpulan pelajar atau mahasiswa, instansi pemerintahan, parpol, organisasi massa, perusahaan, dll.

Kelompok tidak teratur merupakan kelompok yang tidak mempunyai struktur atau organisasi tertentu. Kelompok ini terbentk karena pertemuan yang berulang-ulang. Contoh kelompok belajar, klik, dll. Menurut Soerjono Soekanto, klik adalah suatu kelompok kecil tanpa struktur formal yang sering timbul dalam kelompok-kelompok besar. Klik ini ditandai dengan adanya pertemuan-pertemuan timbal balik antaranggota, biasanya hanya bersifat “antara kita saja”.

Ciri-ciri dan karateristik masyarakat kota dan masyarkat desa

Masyarakat Kota:
Ciri-ciri masyarakat kota:
  1. Pengaruh alam terhadap masyarakat kota kecil
  2. Mata pencahariannya sangat beragam sesuai dengan keahlian dan ketrampilannya.
  3. Corak kehidupan sosialnya bersifat gessel schaft (patembayan), lebih individual dan kompetitif.
  4. Keadaan penduduk dari status sosialnya sangat heterogen
  5. Stratifikasi dan diferensiasi sosial sangat mencolok. Dasar stratifikasi adalah pendidikan, kekuasaan, kekayaan, prestasi, dll.
  6. Interaksi sosial kurang akrab dan kurang peduli terhadap lingkungannya. Dasar hubungannya adalah kepentingan.
  7. Keterikatan terhadap tradisi sangat kecil
  8. Masyarakat kota umumnya berpendidikan lebih tinggi, rasional, menghargai waktu, kerja keras, dan kebebasan
  9. Jumlah warga kota lebih banyak, padat, dan heterogen
  10. Pembagian dan spesialisasi kerja lebih banyak dan nyata
  11. Kehidupan sosial ekonomi, politik dan budaya amat dinamis, sehingga perkembangannya sangat cepat
  12. Masyarkatnya terbuka, demokratis, kritis, dan mudah menerima unsur-unsur pembaharuan.
  13. Pranata sosialnya bersifat formal sesuai dengan undang-undang dan peraturan yang berlaku
  14. Memiliki sarana – prasarana dan fasilitas kehidupan yang sangat banyak.

Karateristik masyarakat kota:
  1. Anonimitas
Kebanyakan warga kota menghabiskan waktunya di tengah-tengah kumpulan manusia yang anonim.Heterogenitas kehidupan kota dengan keaneka ragaman manusianya yang berlatar belakang kelompok ras, etnik, kepercayaan, pekerjaan, kelas sosial yang berbeda-beda mempertajam suasana anonim.
  1. Jarak Sosial
Secara fisik orang-orang dalam keramaian, akan tetapi mereka hidup berjauhan.
  1. Keteraturan
Keteraturan kehidupan kota lebih banyak diatur oleh aturan-aturan legal rasional. (contoh: rambu-rambu lalu lintas, jadwal kereta api, acara televisi, jam kerja, dll)
  1. Keramaian (Crowding)
Keramaian berkaitan dengan kepadatan dan tingginya tingkat aktivitas penduduk kota. Sehingga mereka suatu saat berkerumun pada pusat keramaian tertentu yang bersifat sementara (tidak permanen).
  1. Kepribadian Kota
Sorokh, Zimmerman, dan Louis Wirth menyimpulkan bahwa kehidupan kota menciptakan kepribadian kota, materealistis, berorientasi, kepentingan, berdikari (self sufficient), impersonal, tergesa-gesa, interaksi social dangkal, manipualtif, insekuritas (perasaan tidak aman) dan disorganisasi pribadi.



Masyarakat Desa:
Ciri-ciri masyarakat pedesaan:
  1. Letaknya relatif jauh dari kota dan bersifat rural
  2. Lingkungan alam masih besar peranan dan pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat pedesaan
  3. Mata pencaharian bercorak agraris dan relatif homogen (bertani, beternak, nelayan, dll)
  4. Corak kehidupan sosialnya bersifat gemain schaft (paguyuban ddan memiliki community sentiment yang kuat)
  5. Keadaan penduduk (asal-usul), tingkat ekonomi, pendidikan dan kebudayaannya relatif homogen.
  6. Interaksi sosial antar warga desa lebih intim dan langgeng serta bersifat familistik
  7. Memiliki keterikatan yang kuat terhadap tanah kelahirannya dan tradisi-tradisi warisan leluhurnya
  8. Masyarakat desa sangat menjunjung tinggi prinsip-prinsip kebersamaan / gotong royong kekeluargaan, solidaritas, musyawarah, kerukunan dan kterlibatan social.
  9. Jumlah warganya relatif kecil dengan penguasaan IPTEK relatif rendah, sehingga produksi barang dan jasa relatif juga rendah
  10. Pembagian kerja dan spesialisasi belum banyak dikenal, sehingga deferensiasi sosial masih sedikit
  11. Kehidupan sosial budayanya bersifat statis, dan monoton dengan tingkat perkembangan yang lamban.
  12. Masyarakatnya kurang terbuka, kurang kritis, pasrah terhadap nasib, dan sulit menerima unsur-unsur baru
  13. Memiliki sistem nilai budaya (aturan moral) yang mengikat dan dipedomi warganya dalam melakukan interaksi sosial. Aturan itu umumnya tidak tertulis
  14. Penduduk desa bersifat konservatif, tetapi sangat loyal kepada pemimpinnya dan menjunjung tinggi tata nilai dan norma-norma ang berlaku.

Karakteristik masyakat pedesaan:
Menurut Landis, terdapat beberapa karateristik masyarakat desa, a.l:
  1. Umumnya mereka curiga terhadap orang luar yang masuk
  2. Para orang tua umumya otoriter terhadap anak-anaknya
  3. Cara berfkir dn sikapnya konservatif dan statis
  4. Mereka amat toleran terhadap ninlai-nlai budayanya sendiri, sehingga kurang toleran terhadap budaya lain
  5. Adanya sikap pasrah menerima nasib dan kurang kompetitif
  6. Memiliki sikap udik dan isolatif serta kurang komunikatif dengan kelompok sosial

Senin, 26 April 2010

DAMPAK PERBEDAAN STATUS SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI INDONESIA

DAMPAK PERBEDAAN STATUS SOSIAL EKONOMI

MASYARAKAT DI INDONESIA

A. Latar Belakang

Setiap manusia dihadapan Tuhan adalah sama. Pernyataan tersebut merupakan hal yang secara universal diakui oleh manusia. Namun dalam masyarakat, dipandang ada yang berbeda karena status yang dimiliki.

Perjalanan proses pembangunan tak selamanya mampu memberikan hasil sesuai dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat. Pembangunan yang dilakukan di masyarakat akan menimbulkan dampak sosial dan budaya bagi masyarakat. Pendapat ini berlandaskan pada asumsi pembangunan itu adalah proses perubahan (sosial dan budaya). Selain itu masyarakat tidak dapat dilepaskan dari unsur-unsur pokok pembangunan itu sendiri, seperti teknologi dan birokrasi.

Dalam lingkungan masyarakat dapat dilihat bahwa ada pembeda-bedaan yang berlaku dan diterima secara luas oleh masyarakat. Perbedaan itu tidak hanya muncul dari sisi jabatan tanggung jawab sosial saja, namun juga terjadi akibat perbedaan ciri fisik, keyakinan dan lain-lain. Perbedaan ras, suku, agama, pendidikan, jenis kelamin, usia atau umur, kemampuan, tinggi badan, cakep jelek, dan lain sebagainya juga membedakan manusia yang satu dengan yang lain. Beragamnya orang yang ada di suatu lingkungan akan memunculkan stratifikasi sosial (pengkelas-kelasan) atau diferensiasi sosial (pembeda-bedaan).

Manusia merupakan sekumpulan individu yang membentuk sistem sosial tertentu dan secara bersama-sama, memiliki tujuan bersama yang hendak dicapai, dan hidup dalam satu wilayah tertentu (dengan batas tertentu)serta memiliki pemerintahan untuk mengatur tujuan-tujuan kelompoknya atau individu dalam organisasinya. Dalam masyarakat itu kemudian semakin lama terbentuk suatu struktur yang jelas yaitu terbentuknya kebiasan-kebiasan, cara (usage), nilai/norma, dan adat istiadat. Struktur sosial yang terbentuk ini kemudian lama-kelamaan menyebabkan adanya spesilisasi dalam masyarakat yang mengarah terciptanya status sosial yang berbeda antar individu.

Perbedaan status sosial di masyarakat tentunya akan diikuti pula oleh perbedaan peran yang dimiliki sesuai dengan status sosial yang melekat pada diri seseorang. Perbedaan-perbedaan inilah yang menimbulkan setiap individu dalam suatu masyarakat menimbulkan adanya pelapisan sosial atau yang lebih dikenal dengan stratifikasi sosial .

Esensi dari stratifikasi sosial adalah setiap individu memiliki beberapa posisi sosial dan masing-masing orang memerankan beberapa peran, sehingga hal ini memungkinkan untuk mengklasifikasikan individu-individu kedalam kategori status-peran,dimana perangkingan didasarkan atas posisi relative dari peran-peran yang mereka mainkan secara keseluruhan.

Pada zaman kuno, sebagaimana yang dikemukaan oleh Aritoteles, mengatakan bahwa di dalam tiap Negara terdapat tiga unsur yaitu, mereka yang kaya sekali, mereka yang miskin, dan mereka yang ada ditengah-tengahnya. Hal itu menunjukkan pada zaman dahulu orang telah mengenal dan mengakui adanya sistem pelapisan dalan masyarakat sebagai akibat adanya sesuatu yang mereka anggap berharga, sehingga ada yang mempunyai kedudukan diatas dan pula di bawah.

Pada umumnya mereka yang menduduki lapisan atas tidak hanya memeiliki satu macam saja dari sesuatu yang dihargai oleh masyarakat, akan tetapi kedudukan yang tinggi tersebut bersifat kumulatif. Artinya mereka yang mempunyai uang banyak, misalnya, akan mudah mendapatkan tanah, kekuasaan, ilmu pengetahuan, bahkan mungkin kehormatan tertentu.

Cara yang paling mudah untuk mengerti pengertian konsep sratifikasi sosial atau perbedaan status sosial adalah dengan berfikir membanding-bandingkan kemampuan, baik kemampuan kecerdasan, jabatan, maupun ekonomi, dan apa yang dimiliki anggota masyarakat yang satu dengan anggota masyarakat yang lainnya.

Dalam lingkup masyarakat yang ada di Indonesia, status sosial sering menjadi momok bagi masyarakat. Dimana jabatan serta kekayaan sebagai acuan untuk mencapai sebuah keinginan bagi orang yang memilikinya, dalam arti bahwa yang kaya makin kaya, dan yang miskin makin miskin.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan pokok adalah

1. Apa faktor penyebab terjadinya perbedaan status sosial ?

2. Bagaimana dampak perbedaan status sosial ekonomi di masyarakat?

C. Kontribusi Keilmuan

1. Tujuaan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor dan dampak dari perbedaan status sosial ekonomi masyarakat di Indonesia.

  1. Kegunaan Penelitian

a. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang terkait dengan masalah penelitian ini.

b. Menambah pengetahuan dan pengalaman bagi peneliti.

D. Kerangka Teori

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan bahwa Perbedaan ialah selisi atau sesuatu yang membeda-bedakan antara satu dengan yang lainnya.[1] Sedangkan Status sosial adalah sekumpulan hak dan kewajian yang dimiliki seseorang dalam masyarakatnya (menurut Ralph Linton). Orang yang memiliki status sosial yang tinggi akan ditempatkan lebih tinggi dalam struktur masyarakat dibandingkan dengan orang yang status sosial nya rendah.[2]

Sedangkan istilah sosial pada departemen sosial menunjukan pada kegiatan-kegiatan di lapangan sosial artinya kegiatan-kegiatan sosial yang ditunjukan untuk mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakat dalam bidang kesejahteraan, misalnya tuna karya, tuna susila, dan lain-lain yang ruang lingkupnya adalah pekerjaan kesetaran sosial .

Status sosial adalah sekumpulan hak dan kewajiban yang dimiliki seseorang dalam masyarakatnya, (menurut Ralph Linton). Orang yang memiliki status sosial tinggi yang akan ditempatkan lebih tinggi dalam struktur masyarakat dibandingkan dengan orang yang status sosial nya rendah.

Kelas sosial adalah stratifikasi sosial menurut ekonomi (menurut Barger). Ekonomi dalam hal ini cukup luas yaitu meliputi juga sisi pendidikan dan pekerjaan karena pendidikan dan pekerjaan seseorang pada zaman sekarang sangat mempengaruhi kekayaan/perekonomian individu.

Selanjutnya golongan masyarakat dapat diartikan sebagai penggolong anggota-anggota masyarakat ke dalam suatu kelompok yang mempunyai karakteristik yang sama atau dianggap sejenis, dalam kamus sosiologi dinyatakan sebagai kategori orang-orang tertentu dalam suatu masyarakat yang didasarkan pada cirri-ciri mental tertentu.[3]

Dalam bahasa sosiologi, golongan masyarakat dikenal deang sosial stratification berasal dari stratum (jamaknya, strata yang berarti lapisan). Pitirm A. Sorikin,[4] menyatakan bahwa sosial stratification bersingkat (hirarkis) perwujudan adalah kelas-kelas tinggi dan kelas-kelas lebih rendah. Selanjutnya menurut Sorokin dasar dan inti lapisan masyarakat tidak adanya keseimbangan dalam pembagian hak dan kewajiban dan tanggung jawab nilai-niali sosial dan pengaruhnya diantara anggoat-anggoat masyarakat atau keluarga.[5]

Max Weber berkeras bahwa “kelas sosial ” itu adalah potensial bukannya selalu aktual bahwa orang-orang dalam situasi bersama dalam suatu struktur sosial tidak mesti melihat situasinya dengan jalan yang sama, tetapi menafsirkannya dalam berbagai cara yang tarsedia bagi mereka atau yang telah di isyaratkan oleh lingkungan budayah dalam mana mereka hidup. Suatu pluralisme yang “sama” dan dicapai kesimpulan-kesimpulan yang berada mengenai keadilan atau ketidakadilan, ketakterelaan takdir seseorang dalam masyarakat, dan mengenai sistem sosial menyeluruh atau kemungkinan-kemungkinan adanya sesuatu alternatif bagi system itu lagi.

Bentuk-bentuk kongkrit lapisan masyaratak itu banyak akan tetapi secara prinsip bentuk-bentuk tersebut dapat di klasifikasikan kedalam macam tiga kelas, yaitu yang ekonomis, politis, dan yang didasarkan pada jabatan-jabatan tertentu dalam masyarakat, umumnya, ketiga bentuk pokok tadi mempunyai hubungan yang erat satu dengan yang lainnya, dimana terjadi saling pengaruh-mempengaruhi. Misalnya, mereka yang termasuk dalam suatu lapisan atas dasar ukuran politisi, biasanya juga merupakan orang-orang menduduki suatu lapisan tertentu atas dasar ekonomis, demikian juga mereka yang kaya, biasanya menempati jabatan-jabatan yang senatiasa penting. Akan tetapi, tidak semua demikiannya. Hal itu semuanya tergantung pada system nilai yang berlaku serta berkembang dalam masyarakat bersangkutan.

E. Metode Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan tujuan penelitian ini, maka untuk memperoleh jawaban atas pokok masalah digunakan metode penelitian sosial, yang ditujukan untuk menemukan argumentasi sosial melalui analisa terhadap pokok masalah.

  1. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data dalam penelitian ini, penulis menggunakan penelitian yang bersifat kepustakaan (Library Research), yakni pengumpulan data dengan cara mengkaji sumber-sumber yang tersedia sesuai dan berkaitan dengan permasalahan yang diangkat.

  1. Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Setelah data penulis peroleh, maka data tersebut diolah secara kualitatif, kemudian diaplikasikan sesuai dengan permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini. Sedangkan metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif kualitatif.

PEMBAHASAN

A. Pengertian Status Sosial

Status sosial adalah sekumpulan hak dan kewajian yang dimiliki seseorang dalam masyarakatnya (menurut Ralph Linton). Orang yang memiliki status sosial yang tinggi akan ditempatkan lebih tinggi dalam struktur masyarakat dibandingkan dengan orang yang status sosial nya rendah.[6]

Sratifikasi sosial adalah dimensi vertikal dari struktur sosial masyarakat, dalam artian malihat perbedaan masyarakat berdasarakn pelapisan yang ada, apakah berlapis-lapis secara vertikal dan apakah pelapisan tersebut terbuka atau tertutup.[7] Soerjono soekanto mengatakan sosial sratification adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat atau sistem berlapis-lapis dalam masyarakat. Sratifikasi sosial merupakan konsep sosiologi,dalam artian kita tidak akan menemukan masyarakat seperti kue lapis; tetapi pelapisan adalah suatu konsep untuk menyatakan bahwa masyarakat dapat dibedakan secara vertikal menjadi kelas atas, kelas menengah, dan kelas bawah berdasarkan kriteria tertentu. [8]

Lebih lanjut Soerjono mengemukakan, di dalam setiap masyarakat dimana pun selalu dan pasti mempunyai sesuatu yang dihargai. Sesuatu yang dihargai di dalam masyarakat bisa berupa kekayaan, ilmu pengetahuan, status haji, darah biru, atau keturunan dari keluarga tertentu yang terhormat, atau apapun yang bernilai ekonomis. Di berbagai masyarakat sesuatu yang dihargai tidaklah selalu sama. Di lingkungan masyarakat pedesaan, tanah sewa dan hewan ternak,sering kali dianggap jauh lebih berharga daripada gelar akademis, misalnya. Sementara itu dilingkungan masyarkat kota yang modern, yang sering kali terjadi sebaliknya.[9]

Menurut Karl Max, kelas sosial utama terdiri atas golongan proletariat, golongan kapitalis (borjuis) dan golongan menegah (borjuis rendah). Pendapat diatas merupakan suatu penggambaran bahwa stratifikasi sosial sebagai gejala yang universal, artinya dalam setiap masyarakat bagaimana pun juga keberadaannya pasti didapatkan pelapisan sosial tersebut. Apa yang dikemukakan oleh Karl Marx adalah salah satu bukti adanya sratifikasi sosial dalam masyarakat sederhana sekalipun. Kriteria jenis kekayaan dan juga profesi pekerjaan merupakan cerita yang sederhana, sekaligus menyatakan bahwa dalam masyarakat kita tidak akan menemukan masyarakat tanpa kelas. Perkembangan masyarakat selanjutnya menuju masyarakat yang semakian modern dan kompleks,stratifikasi sosial yang terjadi dalam masyarakat akan semakin banyak.[10]

Pitirim A. Sorokin mengemukaan bahwa sistim pelapisan dalam masyarakat itu merupakan ciri yang tetap dan umum dalam setiap masyarakat yang hidup dengan teratur.[11] Mereka yang memiliki barang atau sesuatu yang lebih berharga dalam jumlah yang banyak akan menduduki lapisan atas dan sebaliknya mereka yang memiliki dalm jumlah yang relatif sedikit atau bahkan tidak memiliki sama sekali akan dipandang mempunyai kedudukan yang rendah.

Lebih lanjut Sorokin mengemukaan, stratifikasi sosial adalah pembendaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hirarkis). Perwujudannya adalah adanya kelas-kalas tinggi dan kelas yang lebih rendah.selanjutnya disebutkan bahwa dasar dan inti dari lapisan-lapisan dalam masyarakat adalah adanya ketidakseimbangan dalam pembagian hak dan kewajiban, kewajiban dan tanggung jawab nilai-nilai sosial dan pengaruhnya di antara anggota-anggota masyarakat.[12]

B. Faktor Penyebab Terjadinya Perbedaan Status Sosial

Terjadinya stratifikasi sosial dalam masyarakat dikarenakan sesuatu yang dihargai dalam masyarakat jumlahnya terbatas, akibat dari hal tersebut adalah distribusi di dalam masyarakat tidaklah merata. Mereka yang memperoleh banyak menduduki kelas atas dan mereka yang tidak memperoleh menduduki kelas bawah.

Barang sesuatu yang dihargai tersebut menurut Paul B Horton dan yang dikutip oleh Anshari adalah:

1. Kekayaan dan penghasilan.

Kekayaan dan penghasilan merupaka dua hal yang berkaitan erat; dimana penghasilan banyak kekayaan juga meningkat. Faktor ekonomi ini akan menjadi salah satu ukuran dari stratifikasi sosial yang ada. Mereka yang kaya dan memiliki penghasilan yang besar akan menduduki kelas atas; sedangkan mereka yang miskin dan tidak berpenghasilan berada pada kelas bawah.

2. Pekerjaan

Pekerjaan disamping sebagai sarana dalam menghasilkan pendapatan juga merupakan status yang mengandung didalamnya prestise (penghargaan). Jenis pekerjaan akan menentukan penghasilan seseorang dan juga penghargaan masyarakat akan seseorang yang memiliki pekerjaan.

Seperti Karl Mark yang membedakan kelas borjuis sebagai orang yang memiliki modal atau capital dan proletariat sebagai orang yang hanya memiliki tenaga saja atau sebagai buruh.[13]

3. Pendidikan

Pendidikan secara bertingkat ada dalam masyarakat, misalnya dibedakan menjadi pendidikan dasar, pendidikan menengah serta pendidikan tinggi. Penjenjanggan ini sekaligus menyatakan bahwa pendidikan adalah dimensi vertikal dari stratifikasi sosial .

Mereka yang lulus dari pendidikan tinggi biasanya diberikan gelar sesuai dengan keahliannya tersebut seperti gelar SE dan SH dibelakang nama yang menunjukkan bahwa mereka yang mencantumkan SE dan SH adalah mereka yang lulus dari pendidikan tinggi dengan keahlian bidang ekonomi untuk SE (kepanjangan dari sarjana ekonomi), dan gelar SH bagi mereka yang tamat dari pendidika tinggi dari fakultas Hukum, SH (sajarna Hukum). Mereka yang tamat dari jurusan sosiologi menggunakan gelar S.Sos kepanjangan dari sajarna sosiologi. Gelar ini pada jenjang S1. Mereka yang menamatkan diri dari pendidikan menengah dan pendidikan dasar mereka belum mendapat gelarkarena belum mempunyai keahlian tertentu. S2 dan Doktor untuk jenjang S3. Mereka yang memiliki gelar baik S1, S2 maupun S3 akan memiliki jenjang stratifikasi sosial atas dibandingkan dengan mereka yang tamat pendidika menengah (SMP dan SMA) maupun yang tamat SD dan bahkan tidak tamat SD dan tidak sekolah.

Sosiolog lain yaitu Soerjono Soekanto mengatakan bahwa kriteria yang memjadikan masyarakat berlapis-lapis adalah: ukuran kekayaan, ukuran menandakan adanya kuantitas atau jumlah dari sesuatu hal. Jika ukuran kekayaan berarti ada jumlah tertentu tentang kekayaan yang dapat dijadikan sebagai suatu tolak ukur. Dari sinilah didapatkan ukuran kekayaan yang tinggi atau banyak, ukuran sedang cukup dan ukuran sedikit atau miskin. Kekayaan sebagai ukuran dalam bentuk stratifikasi sosial walau ada kuantitas tepai pada dasarnya adalah relative untuk suatu masyarakat.[14]

4. Ukuran Kekuasaan

Ukuran kekusaan yang didefenisikan sebagai kemampuan seseorang untuk mempengaruhi perilaku seseorang maupun kelompok agar berperilaku sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh orang yang memiliki kekuasaan menjadi tolak ukur dari strartifikasi sosial yang ada dalam masyarakat. Ukuran kekuasaan akan terkait dengan besar kecilnya dan luas sempitnya pengaruh yang dimiliki seseorang dalam masyarakat. Semakin luas tinggi pengaruh yang dimiliki oleh seseorang semakin tinggi stratifikasi yang dimilikinya dan semakin rendah dan sempit dan bahkan tidak memiliki pengaruh keberadaan sesorang dalam masyarakat semakin rendah stratifikasi sosial nya. Kekuasaan yang dimiliki seseorang bukanlah sesuatu yang bersifat formal saja seperti pejabat pemerintah setempat maupun pejabat pemerintah yang lain.

Kekuasaan tersebut berupa kepatuhan dan ketaatan bagi seseorang untuk mengikuti apa yang menjadi sasaran atau perntahnya. Seorang Kyai memberikan saran kepada seseoran untuk menghentikan minum miras atau merokok dan yang bersangkutan langsung menghentikan tndakannya, maka kyai tersebut memeiliki kekeuasaan yang tinggi atau kuat; demikian halnya orang lain jika apa yang mereka kehendaki dan orang melakukannya, maka orang tersebut memiliki kekuasaan yang tinggi atau kuat.

5. Ukuran Kehormatan

Kehormatan yang diperoleh oleh sesorang bukanlah dari dirinya, melainkan penilaian yang datang dari orang lain. Apakah seseorang dihormati atau tidak oleh orang lain sangat tergantung pada orang lain, bukan bersumber pada dirinya.

Penghormatan bagi seseorang bukan muncul sesaat, melainkan melalui proses waktu dan evaluasi penghormatan dengan demikian bersifat obyektif bukan bersifat subyektif. Penghargaan bagi sessorang dalm wujud penghormatan dapat bersumber pada kepribadian seseorang tersebut karena kejujuran, ketaqwaan beragama, berani karena benar rendah hati maupun perilaku yang di tunjuk dalam setiap harinya seperti suka menolong, memberikan nasehat kepada kepada yang membutuhkan dan sebagainya yang setiap saat dievalusi oleh anggota masyarakat yang lain. Penghormatan tersebut diwujudkan orang lain akan memberikan hormat lebih dahulu atau mengulurkan tangan berjabat tangan menempatkan duduk dalam suatu pesta atau pertemuan di depan sendirin atau di tempat yang pas dengan kehormatannya.

6. Ukuran Ilmu Pengetahuan

Ukuran Ilmu Pengetahuan akan meliputi dua ukuran yaitu: Pertama, ukuran formal yaitu ijasah sebagai ukurannya semakin tingi gelar atau ijasah yang dimiliki semakin tinggi strata sosial nya dan semakin rendah yang dimiliki, maka semakin rendah pula strata sosial nya. Kedua, ukuran non-formal adalah profesional atau keahlian yang mereka miliki melalui ketrampilan yang dia lakukan. Mereka memperoleh keahlian tersebut tidak melalui jalur pendidikan formal. Pakar pengobatan alternatif mereka memperoleh keahliannya bukan belajar difakultas kedokteran, melainkan diperoleh dari luar pendidikan formal yang ada.[15]

Dalam teori sosiologi, unsur-unsur terjadinya sistem pelapisan sosial dalam masyarakat adalah:

1. Kedudukan (Status)

Kedudukan (status) sering kali juga dibedakan dengan kedudukan sosial (sosial status). Kedudukan adalahsebagai tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial ,sehungan dengan orang lain dalam kelompok tersebutatau tempat suatu kelompok sehubungan dengan kelompok-kelompok lain di dalam kelompok yang lebih besar lagi.[16]

2. Peran (Rore)

Selain kedudukan dan peran disamping unsur pokok dalam sistem berlapis-lapis dalam masyarakat, juga mempunyai arti yang sangat penting bagi sistem sosial masyarakat. Status menunjukkan tempat atau posisi seseorang dalam masyarakat, sedangkan peran menunjukan aspek dinamis dari status, hal ini merupakan suatu tingkah laku yang diharapkan dari seorang individu tertentu yang menduduki status tertentu.

Sedangkan kedudukan sosial adalah tempat seseorang secara umum dalam masyarakat sehubungan dengan orang lain, dalam arti lingkungan pergaulannya, prestasinya,hak-hak dan kewajibannya. Dengan demikian kedudukan sosial tidaklah semata-mata merupakan kumpulan kedudukan-kedudukan seseorang dalam kelompokn yang berbeda, tapi kedudukan sosial tersebut mempengaruhikedudukan orang tadi dalam kelompok sosial yang berbeda.

Oleh karena kedudukan sering diartikan sebagai tempat seseorang dalam suatu pola atau kelompok sosial , maka seseorang juga mempunyai beberapa kedudukan sekaligus. Hal ini disebabkan seseorang yang biasanya ikut dalam berbagai kelompok sosial .

Kedudukan, apabila dipisahkan dari individu yang memilikinya, hanyalah merupakan kumpulan hak dan kewajiban. Namun, karena hak dan kewajiban itu hanya dapat terlaksanakan melalui perantara individu, maka sulit untuk memisahkannya secara tegas.

Dalam masyarakat sering kali kedudukan dibedakan menjadi dua macam, yaitu:

a) Ascribed Status

Status ini diartikan sebagai kedudukan seseorang dalam masyarakat tanpa memperhatikan perbedaan seseorang. Kedudukan tersebut diperoleh karena kelahiran. Misalnya, kedudukan anak seorang bangsawan adalah bangsawan pula, seorang anak dari kasta brahmana juga akan memperoleh kedudukan yang demikian. Kebanyakan ascribed status dijumpai pada masyarakat dengan sistem pelapisan sosial yang tertutup, seperti sistem pelapisan perdasarkan perbedaan ras. Meskipun demikian, bukan berarti bahwa dalam masyrakat dengan sistem pelapisan sosial terbuka tidak ditemui adanya ascribed status. Kita lihat misalnya kedudukan laki-laki dalam suatu keluarga akan berbeda dengan kedudukan isteri dan anak-anaknya, karena pada umumnya laki-laki (ayah) akan menjadi kepala keluarga.

b) Achieved Status

Yaitu kedudukan yang dicapai oleh seseorang dengan usaha-usaha yang sengaja dilakukan, bukan diperoleh karena kelahiran.Kedudukan ini bersifat terbuka bagi siapa saja tergantung dari kemampuan dari masing-masing orang dalam mengejar dan mencapai tujuan-tujuannya. Misalnya, setiap orang bisa menjadi dokter, hakim, guru, dan sebagainya, asalkan memnuh persyaratan yang telah ditentukan. Dengan demikian tergantung pada masing-masing orang apakah sanggup dan mampuh memenuhi persyaratan yang telah ditentukan atau tidak.[17]

Disamping kedua kedudukan tersebut di atas, sering kali dibedakan lagi satu macam kedudukan, yaitu assigned-status,kedudukan yang diberikan. Assigned-status, artinya suatu kelompok atau golongan memberikan kedudukan yang lebih tinggi kepada seseorang karena telah berjasa kepada masyarakat.

Di atas telah dijelaskan bahwa seseorang dalam masyarakat dapat memiliki beberapa kedudukan sekaligus, akan tetapi biasanya salah satu kedudukan yang selalu menonjol itulah yang merupakan kedudukan yang utama. Dengan melihat kedudukan yang menonjol tersebut, yang bersangkutan dapat digolongkan ke dalam strata atau lapisan tertentu dalam masyarakat.

C. Dampak Perbedaan Status Sosial Ekonomi Masyakat

Sebagian pakar menyakini bahwa pelapisan masyarakat sesungguhnya mulai ada sejak masyarakat mengenal kehidupan bersama. Terjadinya stratifikasi sosial atau sistem pelapisan dalam masyarakat dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu sistem pelapisan yang terjadi dengan sendirinya artinya tanpa disengaja,dan sistem pelapisan yang terjadi karena dengan sengaja disusun untuk mencapai suatu tujuan tertentu.[18]

Lapisan-lapisan dalam masyarakat yang terjadi dengan sendirinya atau tidak disengaja misalnya, lapisan yang didasarkan pada umur, jenis kelamin, kepandaian, sifat, keaslian keanggotaan kerabat kepala masyarakat, mungkin pada batas-batas tertentu berdasarkan harta. Sedangkan sistem lapisan dalam masyarakat yang sengaja disusun untuk mencapai tujuan tertentu biasanya berkaitan dengan pembagian kekuasaan dan wewenang yang resmi dalam organisasi formal seperti pemerintahan, perusahaan, partai politik, angkatan bersenjata dan sebagainya. Kekuasaan dan wewenang itu merupakan sesuatu unsur khusus dalam sistem pelapisan masyarakat yang mempunyai sifat lain daripada uang, tanah, dan benda ekonomis lainya. Hal ini disebabkan uang, tanah, dan jenisnya dapat dibagi secara bebas dalam masyarakat tanpa merusak keutuhan masyarakat.[19]

Namun demikian, apabila suatu masyarakat hendak hidup teratur dan keutuhan masyarakat tetap terjaga maka kekuasaan dan wewenang harus pula dibagi-bagikan secara taratur, sehingga setiap orang akan jelas dimana kekuasaan dan wewenangnya dalam organisasi, baik secara horizontal maupun vertikal. Secara teoritis diakui bahwa manusia dapat dianggap sederajat, akan tetapi dalam kenyataan kehidupan dalam kelompok-kelompok sosial tidak demikian halnya. Dengan demikian pembedaan ke dalam lapisan-lapisan merupakan gejala universal serta merupakan bagian dari sistem sosial setiap masyarakat.[20]

Status sosial adalah merupakan kedudukan, peranan, dan tanggung jawab seseorang dalam masyarakatnya. Status itu dikategorikan dalam dua bagian status karena seseorang mewarisi dari keturunannya (ascribed status), dan status sosial yang digenggam sebab prestasi yang diperoleh (achieved status). Kelompok ascribed status bertali temali dengan keturunan, kelahiran dan warisan yang mereka peroleh dari orang tua atau kakek buyut, dan tidak dibutuhkan jerih lelah untuk masuk dalam kategori ini. Dalam masyarakat sederhana, karakteristik ascribed status dipandang sebagai suksesi yang tidak pernah diperdebatkan. Sebaliknya, orang yang dikelompokkan dalam kategori achieved status adalah orang yang harus berjerih lelah, untuk menghasilkan sesuatu yang diakui oleh masyarakat luas. Tidak dikenal paham suksesi, yang berlaku adalah usaha dan prestasi.[21]

Fenomena dan realitas sosial serupa mencolok dalam masyarakat maju, di mana kontestasi merupakan syarat menuju puncak prestasi. Kedua model status sosial itu terpatri dalam benak masyarakat, diakui, diupayakan - kendati pun dicemooh - tetapi telah berlangsung berabad-abad dalam peradaban manusia. Untuk memahami eksistensi dua status sosial itu, kita mudah mencari, apakah kontribusi mereka bagi masyarakat dan lingkungan sosial pada zamannya.

Status sosial atau yang sering disebut stratifikasi sosial menunjukkan adanya suatu ketidakseimbangan yang sistematis dari kesejahteraan, kekuasaan dan prestise (gengsi) yang merupakan akibat dari adanya posisi sosial (rangking sosial) seseorang di masyarakat. Sedangkan ketidakseimbangan dapat didefinisikan sebagai perbedaan derajat dalam kesejahteraan, kekuasaan dan hal-hal lain yang terdapat dalam masyarakat. [22]

Adanya perbedaan status sosial dalam hal ini menyangkut perbedaan perekonomian, dapat menimbulkan adanya kecemburuan sosial, kesejahteraan yang tidak merata, bahkan bisa menyebabkan perbuatan yang melanggar hukum. Perbedaan status sosial ekonomi secara tidak langsung dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat terutama yang berada pada lapisan bawah.

Adanya perbedaan status sosial ekonomi dapat menimbulkan konflik sosial tersendiri bagi masyarakat. Konflik sosial berarti pertentangan antara kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat yang diikat atas dasar suku, ras, jenis kelamin, kelompok, status ekonomi, status sosial , bahasa, agama, dan keyakinan politik, dalam suatu interaksi sosial yang bersifat dinamis. Baik dalam masyarakat homogen maupun dalam masyarakat majemuk. Konflik sosial dapat terjadi karena adanya perbedaan yang disebabkan adanya ketidak-adilan dalam akses pada sumberdaya ekonomi dan politik. Adanya ketidak-adilan akses pada sumberdaya ekonomi dan politik memperparah berbagai prasangka yang sudah ada di antara kelompok-kelompok sosial. Konflik sosial merupakan hal yang sering terjadi mustahil dihilangkan sama sekali. Yang harus dicegah adalah konflik yang menjurus pada pengrusakan dan penghilangan salah satu pihak atau para pihak yang berkonflik. Oleh karena itu konflik harus dikendalikan, dikelola, dan diselesaikan melalui hukum yang berarti melalui jalan damai.[23]

KESIMPULAN

Deferensiasi status sosial sebagai gejala yang universal dalam kehidupan masyarakat dan membedakan masyarakat secara horizontal, tentu akan membawa dampak dan pengaruh pada kehidupan bersama. Perbedaan secara horizontal ini tetap akan membawa konsekuensi bagi kelompok-kelompok sosial yang ada. Perbedaan status sosial dapat terjadi dengan sendirinya sebagai bagian dari proses pertumbuhan masyarakat.

Perbedaan status sosial ekonomi mempunyai dampak tersendiri bagi masyarakat. Adanya perbedaan status sosial dalam hal ini menyangkut perbedaan perekonomian, dapat menimbulkan adanya kecemburuan sosial, kesejahteraan yang tidak merata, bahkan bisa menyebabkan perbuatan yang melanggar hukum. Perbedaan status sosial ekonomi secara tidak langsung dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat terutama yang berada pada lapisan bawah yang mengalami perekonimian lemah.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet. II., Jakarta: Balai Pustaka

Effendi, Macam-Macam Status Sosial dan Stratifikasi Sosial, dalam http://organisasi.org/jenis-jenis-macam-macam-status-sosial-stratifikasi-sosial-dalam-masyarakat-sosiologi

Departemen Agama RI, Himpunan Peraturan Perundang-undangan dalam Lingkup Peradilan Agama, DIRJEN BIPH, Jakarta 2004

Soerjono Soekanto, Kamus Sosiologi (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993)

Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993)

Effendi, Macam-Macam Status Sosial dan Stratifikasi Sosial, dalam http://organisasi.org/jenis-jenis-macam-macam-status-sosial-stratifikasi-sosial-dalam-masyarakat-sosiologi

Dwi Narwoko, Sosiologi Teks Pengantar Dan Terapan (Cet: I, Jakarta: PT. Mizan Pustaka, 2004)

Anshari, Status Sosial dan Pengaruhnya, dalam http://bumiputra.com/status-sosial&pengaruhnya

Soerjono Soekanto, Sosiologi Perkembangan (Cet: II., Jakarta: Pustaka Setia, 1992)

[1] Amri Maulana, Perbedaan Status Sosial Dalam Masyarakat, dalam http://multiply.com/perbedaan-status-soasial-masyarakat/09/ref/

Wardani Sofyan, Pengertian Dan Peran Status Sosial, dalam http://jendela.blogspot. om/pengertian-peran-status-sosial/ref.html

Alwis, Korelasi Status Sosial, dalam http://id.shvoong.com/humanities/1969964-korelasi-status-sosial/

Halifah dalam http://images.halifah29.multiply.multiplycontent.com/attachment/0/ Sf6wFQoKCHYAADPUXtE1/sosiologi.odt?nmid=239124045.

Wawan, Penyebab Konflik Sosial, dalam http://wawan-satu.blogspot.com/ 2010/01/penyebab-konflik-sosial .html



[1] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet. II., Jakarta: Balai Pustaka, h. 899

[2] Effendi, Macam-Macam Status Sosial dan Stratifikasi Sosial, dalam http://organisasi.org/jenis-jenis-macam-macam-status-sosial-stratifikasi-sosial-dalam-masyarakat-sosiologi (Download tanggal 23/11/2009)

[3] Departemen Agama RI, Himpunan Peraturan Perundang-undangan dalam Lingkup Peradilan Agama, DIRJEN BIPH, Jakarta 2004, h. 131

[4] Soerjono Soekanto, Kamus Sosiologi (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993), h. 88

[5] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993), h. 63

[6] Effendi, Macam-Macam Status Sosial dan Stratifikasi Sosial, dalam http://organisasi.org/jenis-jenis-macam-macam-status-sosial-stratifikasi-sosial-dalam-masyarakat-sosiologi (Download tanggal 19/04/2010)

[7] Ibid

[8] Ibid

[9] Dwi Narwoko, Sosiologi Teks Pengantar Dan Terapan (Cet: I, Jakarta: PT. Mizan Pustaka, 2004)., h. 132

[10] Dwi Narwoko, op cit., h. 135

[11] Ibid

[12] Ibid

[13] Anshari, Status Sosial dan Pengaruhnya, dalam http://bumiputra.com/status-sosial&pengaruhnya (Dowload tanggal 17/04/2010)

[14] Soerjono Soekanto, Sosiologi Perkembangan (Cet: II., Jakarta: Pustaka Setia, 1992), h. 38

[15] Anshari, op cit

[16] Amri Maulana, Perbedaan Status Sosial Dalam Masyarakat, dalam http://multiply.com/perbedaan-status-soasial-masyarakat/09/ref/ (Download Tanggal 19/04/2010)

[17] Ibid

[18] Wardani Sofyan, Pengertian Dan Peran Status Sosial, dalam http://jendela.blogspot. om/pengertian-peran-status-sosial/ref.html (Download Tanggal 15//04/2010)

[19] Dwi Narwoko, op cit., h. 152

[20] Ibid

[21] Alwis, Korelasi Status Sosial, dalam http://id.shvoong.com/humanities/1969964-korelasi-status-sosial/ (Download tanggal 19/04/2010)

[23] Wawan, Penyebab Konflik Sosial, dalam http://wawan-satu.blogspot.com/ 2010/01/penyebab-konflik-sosial .html (Download tanggal 19/04/2010)